KulitInto.com – Kelompok buruh menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, dengan tuntutan utama adalah pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam aksi yang dilakukan pada Kamis (6/6/2024), Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya mereka untuk menolak kebijakan Tapera.
Menurut Said Iqbal, aksi ini bukanlah sekadar protes biasa, melainkan awal dari gerakan yang lebih besar untuk menggugat PP Nomor 21 Tahun 2024 tersebut. Salah satu langkah yang akan diambil adalah melalui proses hukum dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
“Bilamana ini tidak dicabut, maka akan dilakukan aksi yang lebih meluas di seluruh Indonesia dan melibatkan komponen masyarakat yang lebih luas,” tambahnya, menyuarakan keinginan untuk memperluas jangkauan aksi ke 38 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Dalam aksi tersebut, berbagai kelompok buruh turut serta, termasuk KSPI, KPBI, KSBSI, KSPSI, AGN, serta 60 federasi buruh lainnya. Langkah berikutnya, mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa di Istana Negara, dengan menghadirkan ribuan buruh dari berbagai organisasi serikat pekerja.
Dalam pernyataannya, Said Iqbal juga menyebutkan bahwa aksi ini tidak hanya menyoroti Tapera, melainkan juga menolak kebijakan lainnya seperti uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal, KRIS BPJS Kesehatan, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan penghapusan outsourcing/tolak upah murah (HOSTUM).
Menurut Said Iqbal, Tapera tidak memberikan kepastian kepada pekerja untuk memiliki rumah meskipun mereka telah mengiur iuran selama 10 hingga 20 tahun. Ia juga menyoroti lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan rumah, karena dalam Tapera, pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran tanpa mengalokasikan dana dari APBN maupun APBD.
Selain Tapera, buruh juga menolak kebijakan lainnya yang dinilai merugikan mereka, seperti UKT yang mahal yang membuat pendidikan tinggi sulit dijangkau bagi anak-anak buruh. Kebijakan terkait KRIS BPJS Kesehatan juga dikritik karena dinilai akan memperburuk pelayanan kesehatan di rumah sakit yang sudah penuh sesak.
Sementara UU Cipta Kerja dinilai sebagai simbol ketidakadilan yang melegalkan eksploitasi terhadap buruh. Kebijakan ini dianggap memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk memperlakukan buruh sebagai alat produksi semata, tanpa memperhatikan hak dan martabat mereka.
Tidak hanya itu, sistem outsourcing yang memberikan ketidakpastian kerja dan upah rendah juga menjadi sorotan dalam aksi tersebut. Buruh menegaskan bahwa keberadaan sistem outsourcing telah menempatkan mereka dalam kondisi yang semakin sulit.
Dalam konteks ini, aksi yang dilakukan oleh kelompok buruh diharapkan dapat menjadi panggilan bagi pemerintah dan DPR untuk mendengarkan suara hati rakyat buruh dan masyarakat secara luas. Dengan demikian, diharapkan perubahan kebijakan yang lebih inklusif dan adil dapat terwujud untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: Korupsi Tata Niaga Timah, Kerugian Negara Mencapai Rp 300 Triliun!
Sumber: Kompas.