Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan kontroversial terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Gugatan dengan Nomor 62/PUU-XXI/2023 tersebut dikabulkan setelah MK menemukan sejumlah fakta yang menunjukkan adanya dominasi partai politik (parpol) tertentu dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Dalam sidang yang digelar Kamis (2/1/2025), Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa pengaturan ambang batas pencalonan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa pasangan capres-cawapres diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Namun, persyaratan tersebut selama ini justru mempersempit ruang demokrasi, yang seharusnya menjamin keberagaman pilihan bagi rakyat.
Saldi mengungkapkan, fakta lapangan menunjukkan adanya dominasi parpol tertentu dalam beberapa pemilu terakhir. Hal ini berdampak pada terbatasnya pilihan pasangan calon yang tersedia bagi pemilih. “Dalam beberapa pemilu presiden, terdapat dominasi partai politik tertentu yang mengurangi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memadai,” ujarnya.
Kondisi ini, lanjut Saldi, bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi seluruh parpol peserta pemilu untuk mengusung pasangan calon. “Hak konstitusional parpol untuk mengusulkan pasangan calon adalah bagian dari pemenuhan hak warga negara, sebagaimana diatur dalam UUD 1945,” tegasnya.
Baca juga: Kecelakaan Pesawat Jeju Air di Bandara Internasional Muan, Ini Beberapa Pesan Terakhir Penumpang!
Putusan ini sekaligus menjadi momen bagi MK untuk mengubah pandangannya setelah lima kali penyelenggaraan pemilu presiden secara langsung sejak 2004. Saldi menyebutkan, keputusan ini diambil setelah mencermati dinamika politik dan kebutuhan penyelenggaraan negara yang lebih demokratis.
Namun, keputusan ini menuai pro dan kontra di kalangan publik dan pengamat politik. Beberapa pihak menilai bahwa penghapusan ambang batas ini justru akan memicu fragmentasi politik yang lebih besar, sementara yang lain memandangnya sebagai langkah positif untuk menciptakan kompetisi yang lebih sehat dalam pemilu mendatang.
Tidak semua hakim MK sepakat dengan putusan ini. Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic mengajukan dissenting opinion, menyoroti risiko instabilitas politik yang mungkin timbul dari penghapusan ambang batas ini. Mereka berpendapat bahwa aturan presidential threshold selama ini telah berfungsi sebagai filter untuk memastikan pasangan calon yang memiliki dukungan politik kuat.
Namun, argumen ini dianggap kurang relevan oleh mayoritas hakim MK yang mengutamakan keterbukaan dan aksesibilitas politik bagi semua parpol peserta pemilu.
Dengan penghapusan ambang batas ini, semua parpol yang menjadi peserta pemilu kini memiliki hak penuh untuk mencalonkan pasangan capres-cawapres, tanpa terikat persyaratan tertentu. Hal ini diperkirakan akan mengubah peta politik secara signifikan menjelang Pemilu 2029.
Meski demikian, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah keputusan ini benar-benar akan membawa perbaikan dalam kualitas demokrasi di Indonesia, atau justru memunculkan tantangan baru seperti meningkatnya polarisasi dan instabilitas politik.
Keputusan MK ini menegaskan pentingnya pembaruan sistem politik untuk menjamin hak konstitusional warga negara. Namun, tanpa regulasi pendukung yang memadai, langkah ini berisiko menimbulkan persoalan baru dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.