Kulitinto.com – Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari hasil denda tilang kendaraan bermotor kini resmi dapat dimanfaatkan secara bersama oleh tiga lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA). Kebijakan ini menjadi langkah baru dalam sistem pengelolaan keuangan negara di sektor hukum dan lalu lintas.
Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho menyebut keputusan ini sebagai sebuah terobosan penting. Sebab, selama ini pengelolaan PNBP tilang hanya berada di bawah kewenangan Kejaksaan, sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Menurut Agus, kebijakan baru ini membuka peluang pemanfaatan dana hasil denda tilang untuk memperkuat pelayanan publik di bidang hukum dan keselamatan lalu lintas. “PNBP tilang kini bukan sekadar angka di catatan negara, tetapi menjadi sumber daya untuk mendukung peningkatan pelayanan hukum dan keselamatan lalu lintas,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (9/10).
Ia menjelaskan bahwa gagasan pemanfaatan bersama PNBP tilang ini pertama kali digagas oleh anggota Korlantas Polri, Kombes Made Agus Prasatya, sejak tahun 2020. Ide tersebut muncul dari pengamatan terhadap sistem penegakan hukum lalu lintas yang melibatkan tiga lembaga, yaitu Polri sebagai penindak pelanggaran, MA melalui pengadilan negeri sebagai pihak pengadil, dan Kejaksaan sebagai eksekutor putusan.
Melalui dialog intensif antar-lembaga, akhirnya muncul kesepakatan untuk menciptakan inovasi kolaborasi dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System/CJS). Kolaborasi ini diwujudkan melalui penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas berbasis teknologi, yakni Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) Nasional Presisi, dengan dukungan pembiayaan dari PNBP tilang.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan bahwa ketiga lembaga negara tersebut telah menyepakati pembagian proporsi pemanfaatan dana PNBP tilang. Berdasarkan kesepakatan, Kejaksaan memperoleh 40 persen, sementara Polri dan Mahkamah Agung masing-masing mendapatkan 30 persen. Pembagian tersebut dianggap mencerminkan peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum lalu lintas.
Keputusan tersebut kemudian diperkuat melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 100 Tahun 2024 tentang Penyetoran dan Pencatatan PNBP dari Denda Pelanggaran Lalu Lintas. Aturan ini menjadi dasar hukum resmi bagi pengelolaan dan pemanfaatan dana tilang secara terintegrasi antara ketiga lembaga.
Agus menegaskan, pemanfaatan bersama PNBP tilang ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana publik. Selain itu, langkah tersebut juga dinilai mampu memperkuat kolaborasi antar-lembaga dalam memberikan pelayanan hukum yang lebih baik kepada masyarakat.
“Dengan adanya sistem ini, masyarakat akan merasakan dampak langsung berupa peningkatan pelayanan, pengembangan teknologi ETLE Nasional, serta peningkatan keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di seluruh wilayah,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa optimalisasi PNBP hasil denda tilang juga akan membantu membangun budaya tertib berlalu lintas. Dengan pengelolaan yang transparan, dana tersebut dapat digunakan untuk mendukung berbagai program keselamatan jalan dan pengembangan sistem digitalisasi pelayanan publik.
“Ini adalah terobosan besar yang tidak hanya memperkuat kelembagaan, tetapi juga berdampak langsung bagi masyarakat dan negara,” tutup Agus.
Langkah kolaboratif ini menjadi momentum penting dalam reformasi pengelolaan PNBP, sekaligus menandai babak baru dalam sinergi antara Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk menciptakan sistem hukum yang lebih modern, transparan, dan efisien.