MALANG – Kabar kedatangan Presiden RI Joko Widodo (RI 1) ke Kabupaten Malang beberapa hari lagi untuk meninjau lokasi pasca bencana gempa yang melanda kawasan tersebut, nyatanya membuat sejumlah Organisasi Media berkomentar. Pasalnya, diduga untuk media lokal akan dibatasi jumlahnya untuk meliput kegiatan RI 1 tersebut.
Aliansi Junalis Independen (AJI) Malang dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya ikut mengomentari terkait keputusan pembatasan wartawan dalam meliput kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ketua AJI Malang, Mohammad Zainuddin berpendapat, peliputan secara daring atau online saat pandemi Covid-19 sejatinya merupakan hal yang wajar.
“Apalagi tujuan pembatasan peliputan itu untuk menghindari kerumunan dan menekan angka penyebaran Covid-19,” kata Zainuddin, hari ini, Rabu (28/4/2021).
Namun, Zainuddin menyebut pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus konsisten dengan pola peliputan.
AJI Malang menemukan pejabat daerah malah mengerahkan atau mengundang wartawan dalam kegiatan tertentu.
Berdasarkan pantauan di lapangan, pejabat daerah biasanya mengundang wartawan dalam acara seremonial. Seperti pemberian bantuan, bakti sosial dan meninjau korban bencana alam.
“Dalam praktiknya, sejumlah pejabat daerah malah mengerahkan atau mengundang wartawan untuk meliput acara tertentu. Tentu saja pengerahan wartawan ini menimbulkan kerumuman,” jelasnya.
Senada dengan pendapat ketua AJI, Ketua PWI Malang Raya, Cahyono menerangkan sebagian besar wartawan telah menjalani vaksinasi Covid-19. Selain itu, wartawan selalu menerapkan protokol kesehatan saat melakukan kegiatan peliputan.
Alhasil, Cahyono mempertanyakan pembatasan peliputan jika dalihnya untuk mencegah Covid-19.
“Wartawan Kabupaten Malang juga telah divaksin dua kali dan menerapkan protokol kesehatan,” ungkap Cahyono.
Menurut Cahyono, wartawan bekerja melakukan peliputan berpedoman pada Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pada UU Pers, disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
“Kalau ada pembatasan pemberitaan kan berarti melanggar Undang-Undang Pers,” sebut Cahyono.
Kata Cahyono, pembatasan peliputan akan menyulitkan wartawan dalam mengulik fakta di lokasi peliputan. Sedangkan di sisi lain, perusahaan media mengharuskan wartawan meninjau langsung lokasi peliputan.
“Terutama pada wartawan foto, kan harus ada news fotonya itu. Tapi wartawan Istana (Kepresidenan) kok boleh? Tapi wartawan lokal kok tidak boleh?,” tutupnya.
sumber : NUSADAILY.COM