SURABAYA – Tingginya risiko pekerjaan yang ditanggung jurnalis memantik kesadaran tentang pentingnya penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Hal itu mendorong, sekitar 50 pewarta yang tergabung dalam Komunitas Wartawan Peduli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Jawa Timur menginisiatori pembuatan Panduan K3 khusus untuk wartawan.
Para jurnalis menggandeng Asosiasi Ahli K3 (A2K3), yang telah mumpuni membuat dan mengawal penerapan K3 di berbagai sektor.
Dipadu dengan para pelaku bisnis di sektor pertambangan dan pelabuhan, para jurnalis mengidentifikasi bahaya-bahaya yang mengancam keselamatan dan kesehatan jurnalis.
Kabid Pengawasan Disnakertrans Provinsi Jatim Sigit Priyanto memberikan apresiasi luar biasa terhadap inisiatif Komunitas Wartawan Peduli K3 Jawa Timur tersebut.
“Panduan K3 bagi jurnalis sangatlah penting. Sebab pekerjaan jurnalis penuh risiko. Apalagi, sampai hari ini belum ada panduan K3 bagi jurnalis seperti halnya panduan K3 bagi sektor industri lainnya,” kata Sigit.
Sigit mengungkapkan hal tersebut saat hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Usulan Panduan Identifikasi Budaya dan Perilaku Risiko K3 Wartawan, yang digelar di Whiz Hotel, Sukapura, Probolinggo, Sabtu (3/4/2021).
Menurut Sigit, jurnalis atau wartawan mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar.
Mereka menulis, menganalisis, dan melaporkan suatu peristiwa kepada khalayak melalui media massa secara teratur.
“Jurnalis memperoleh dan menjaga informasi akurat untuk disampaikan ke publik,” ungkap Sigit.
Berita yang disampaikan para wartawan melalui media massa dapat merupakan sarana pendidikan, memberikan pencerahan serta memberikan informasi yang obyektif.
“Dengan pekerjaan itu, ada karakteristik yang berbeda dengan sektor lain. Antara lain pekerjaan wartawan dilakukan di tempat kerja yang berpindah-pindah,” papar Sigit.
Wartawan menempuh perjalanan dari suatu tempat sumber berita yang satu, ke tempat sumber berita yang lain. Di sini sering menemui situasi membahayakan.
Lalu, waktu kerja wartawan juga tidak pasti. Sumber berita yang akan diliput bisa siang maupun malam sekali pun.
Terkait dengan hubungan kerja, yang sering terjadi adalah hubungan kerja dengan pemberi kerja adalah pekerjaan dengan waktu tertentu. Untuk sisi psikologis, ada tekanan dari pihak lain.
“Dengan kondisi itu, maka pekerjaan seorang wartawan lebih banyak mengandung resiko, dibanding dengan pekerjaan lain. Untuk itulah, akan sangat penting untuk melindungi para petugas jurnalistik tersebut, khususnya terkait K3-nya,” ungkap Sigit.
Yakni dengan pemberian pemahaman pentingnya K3, pemenuhan syarat-syarat K3, pemberian alat pelindung diri dan pemeriksaan kesehatan kerja.
Bentuk perlindungan lain adalah jaminan sosial tenaga kerja dan pendampingan terhadap masalah yang dialami oleh wartawan, seperti tekanan-tekanan dari pihak lain.
Pemateri kedua, Katamsi Ginano, General Manager External Affairs PT Merdeka Copper Gold memberikan beberapa perbandingan dalam penerapan K3 sektor pertambangan.
Menurutnya ada dua cara dalam penerapan K3. “Yakni pemaksaan melalui aturan dan membentuk kesadaran (budaya),” kata Katamsi.
Keselamatan seharusnya adalah hal pertama yang harus dibahas sebelum urusan kerja.
Di sektor pertambangan, ada buku panduan yang rinci. Misalnya sepatu, alat pemadam kebakaran, helm dan sebagainya.
“Apakah semua industri seperti itu? Tidak. Sehingga, untuk implementasi K3, diperlukan sebuah dedikasi penuh,” jelas Katamsi.
Tidak cukup hanya pemaksaan melalui aturan atau pembiasaan membentuk budaya.
Ketika ada orang bertanya, risiko terbesar wartawan ketika meliput apa? Kalau di pertambangan pertanyaan risiko itu bisa didefinisikan dan diidentifikasi jelas. Tetapi kalau wartawan risikonya out of mind (tidak terduga-duga).
“Misalnya wartawan hadiri nikahan saja bisa kena gebuk,” ungkap Katamsi merujuk peristiwa pemukulan wartawan Tempo oleh oknum aparat di Surabaya, akhir Maret 2021 lalu.
Mantan wartawan Republika ini juga memberikan gambaran bahwa aturan dan budaya keselamatan adalah nomor satu dalam menghindari risiko kecelakaan kerja. Tetapi berpikir keselamatan, derajatnya lebih tinggi dibanding aturan dan budaya K3.
Dengan karakterikstik pekerjaan wartawan, bisa diasumsikan standar K3 wartawan seharusnya lebih tinggi dari sektor pertambangan.
Para jurnalis harus bisa mengidentifikasi beragam potensi bahaya yang mengancam keselamatan dan kesehatan kerjanya.
Sementara itu, Edi Priyanto sebagai anggota Asosiasi Ahli K3 (A2K3) menyuguhkan materi berjudul “Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko K3 Jurnalis”.
Menurut Edi, proses identifikasi bahaya ini penting dilakukan sebagai bahan penilaian derajat risiko K3 para junalis.
“Setelah risiko ini diidentifikasi dan diukur, maka akan bisa dilakukan mitigasi atau pencegahan, agar kejadian yang sama tidak terulang di lain hari,” jelas Edi yang juga menjabat sebagai Direktur SDM PT Pelindo III (Persero) tersebut.
Dari beberapa contoh kecelakaan yang menimpa jurnalis, maka kesadaran akan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat penting. Sebab K3 merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Setiap pekerja formal dan informal berhak mendapatkan jaminan K3 yang sesuai karena setiap pekerjaan memiliki risiko.
“Semakin tinggi risiko pekerjaan, semakin tinggi pula kebutuhan akan jaminan K3,” tegas Edi.
Payung hukum dari penerapan K3 adalah UU 13/2003 tentang Ketenegakerjaan. Dalam undang-undang itu, ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya adalah K3, diatur agar tidak merugikan berbagai pihak, yaitu tenaga kerja dan perusahaan bersangkutan.
Dasar hukum penerapan K3 lainnya adalah UU 1/1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Dalam UU 1/1970 setidaknya ada tiga poin penting. Pertama, melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja.
Kedua, menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
Ketiga, meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nasional.
Saat ini K3 sudah banyak diterapkan di perusahaan manufaktur, kontraktor, minyak dan gas. Juga di sektor pelabuhan dan pertambangan.
Edi optimistis bahwa K3 bisa diterapkan di dunia jurnalistik. Sebab K3 diciptakan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja tanpa mengecualikan industri apapun.
“Masalahnya? Mau atau tidak mau. Tidak hanya wartawan yang harus mau, tetapi perusahaannya juga harus mau,” lanjut Edi.
Hanya, penerapan K3 disesuaikan dengan cara dan proses kerja masing-masing industri. Termasuk menyesuaikan proses kerja dunia jurnalistik.
Dalam sebuah survei yang telah dilakukan sebelumnya terhadap 107 responden, A2K3 mengidentifikasi beberapa potensi risiko pekerjaan.
Dalam kaitannya dengan kesejahteraan, hanya 13 persen responden yang mendapatkan 4 jenis jaminan ketenagakerjaan (JHT, JKM, JKK, JP) sebanyak.
Mayoritas responden atau 39 persen hanya mendapatkan satu jenis jaminan ketenagakerjaan, yakni JHT.
Lalu 100 persen responden telah mendapatkan BPJS Kesehatan dari perusahaan. Kemudian mayoritas responden atau 57,9 persen mendapatkan penghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan.
Sepeda motor dan HP merupakan properti/fasilitas yang banyak dimiliki oleh tiap responden.
Dalam kaitannya dengan berkendara menuju lokasi kerja/liputan menggunakan kendaraan roda dua, ada beberapa risiko yang mengancam wartawan.
Antara lain tersenggol kendaraan lain, jalan rusak, perilaku ofensif pengguna jalan, fungsi kendaraan rusak, menggunakan HP saat berkendara, dan mengantuk atau melamun. Juga risiko kriminalitas (penjambretan, pembegalan,dan lainnya).
Dalam hal melakukan liputan banjir, diidentifikasi risiko arus air deras, pijakan licin dan becek, dan bahaya kuman.
Bila jurnalis melakukan aktivitas peliputan peristiwa longsor, identifikasi bahayanya, adalah tanah miring, tanah tidak stabil, pijakan licin dan becek, pohon tumbang dan bahaya biologi seperti ular atau serangga.
Jurnalis yang melakukan kegiatan liputan di lokasi kebakaran mendapatkan ancaman bahaya papatan gas beracun CO2, overheating, struktur bangunan rapuh dan reruntuhan bangunan.
Bagi jurnalis yang melakukan peliputan terorisme, ada risiko yang mengancam. Antara lain terjadi kontak dengan teroris, situasi chaos, atau baku tembak.
Melakukan peliputan di lokasi ground breaking juga bukan tanpa risiko. Ancaman gedung roboh dan pijakan licin merupakan bahaya yang mengintai.
Meliput di lokasi demonstrasi bisa diidentifikasi bahayanya dengan mudah. Yakni kontak dengan pelaku kerusuhan, flying object (material yang dilempar), gas air mata, situasi chaos.
Peliputan di zona penyebaran virus jelas risikonya. Yakni terpapar virus dan bahaya psikologis yakni muncul dilema dan kekhawatiran tertular.
Dalam kegiatan menulis laporan jurnalistik, di luar maupun di dalam kantor, juga mengandung risiko.
Antara lain ketika di luar kantor menghadapi pencuri/begal/perampok saat melakukan pelaporan hasil liputan, posisi tubuh tidak ergonomis dan repetitive motion. Di dalam kantor, ada pula risiko posisi tubuh tidak ergonomis dan repetitive motion.
Dalam kegiatan penugasan area kerja/area liputan di tempat yang berisiko, seperti luar negeri/kota dengan tingkat kriminal tinggi/daerahpeperangan, risiko psikososial cukup mengancam. Trauma, kekhawatiran dan dilema akan menjadi ancaman bahaya psikologis.
“Itu hanya beberapa potensi risiko. Kami berharap para wartawan mendetailkan potensi risiko lain yang mungkin bisa terjadi melalui FGD ini,” ungkap Edi.
Lalu bagaimana cara penerapan K3 dalam dunia jurnalistik? Penerapan K3 bagi jurnalis perlu memerhatikan proses kerja jurnalis yang berbeda dengan tenaga kerja pada umumnya. Antara lain jurnalis tidak punya jam kerja pasti, karena menyesuaikan kejadian pada saat itu.
Lalu perbedaan lainnya, jurnalis tidak ada lokasi atau lingkungan kerja yang pasti, karena menyesuaikan dengan kejadian atau peristiwa saat itu.
Edi juga memberikan gambaran tentang bahaya dan risiko. Singkatnya bahaya adalah setiap benda, bahan, kegiatan atau kondisi yang memiliki potensi menyebabkan cedera, kerusakan atau kerugian.
Sedangkan risiko adalah kemungkinan bahaya yang terjadi dengan adanya kombinasi antara tingkat keparahan cedera, kerusakan atau kerugian.
Secara umum, Edi menjelaskan ada lima jenis bahaya dalam pekerjaan. Yakni bahaya fisik, bahaya kimia, bahaya biologi, bahaya psikososial dan bahaya ergonomi.
Bahaya fisik antara lain kebisingan, radiasi, getaran, panas, pencahayaan, ketinggian.
Lalu bahaya kimia meliputi bahan mudah meledak, bahan mudah terbakar, bahan korosif, bahan karsinogenik, bahan beracun.
Lalu bahaya biologi meliputi bahaya mikroorganisme (jamur, bakteri, virus) dan bahaya makroorganisme (ular, serangga, lebah).
Ada pula bahaya psikososial antara lain stress, hubungan kerja, jam kerja, kekerasan/intimidasi.
Bahaya ergonomi meliputi layout, manual handling, desain pos kerja, dan desain pekerjaan.
sumber : SURYA.co.id