Setali tiga uang dengan Agus, untuk masalah perikanan ini pernah dijalankan oleh Iman Herdi, jurnalis dari media daring lokal simanews.com. Namun, mantan jurnalis era.id dan merdeka.com ini, fokus ke bisnis pengolahan bandeng menjadi makanan sehari-hari, dengan nama bandeng gebuk.
“Bandeng gebuk ini makanan khas Brebes Jawa Tengah. Setahun saya jalani dari 2017-2018 tapi berhenti. Sering kehilangan barang di warung daerah Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat daerah Dipati Ukur,” terang Iman.
Iman akhirnya beralih merintis berjualan pot dekorasi. Konsumennya lebih kepada wedding organizer dan salon.
“Biasanya untuk yang nikahan. Lumayanlah kalau sedang ramai jadwal nikahan. Harganya enggak mahal, satu pot ukuran 50-100 sentimeter Rp500 ribu-Rp 1 juta,” ungkap Iman.
Gegara pandemi Covid-19 pada tahun 2020, usaha yang dirintisnya sejak 2018 itu berhenti total. Karena dengan protokol kesehatan yang diberlakukan kini, semuanya serba minimalis.
Tak ada rotan, akar pun jadi, begitu kira-kira semangat Iman dalam menjalankan jurnalispreunership. Kini, dia beralih menjadi penulis novel.
“Tak jauh-jauh sih dari dunia jurnalistik, bikin novel sekarang. Novel pertama ‘Yang Pergi Yang Ditepi’ terbit tahun 2017. Terbaru ‘Melukis Jalan Astana’ baru tahun ini kelar,” sebut Iman.
Beda halnya dengan pemilik media online lokal ruangmedia.id, Teten Nurhidayah, jauh hari sebelum datangnya pandemi telah mencari jalan hidup lain selain di dunia jurnalistik. Dia bersama rekan, reporter kantor berita radio KBR Arie Nugraha, memproduksi kaus dengan desain slogan jurnalisme.
Bisnis kaus dengan slogan jurnalisme bernama journalismerch itu dirintis sejak tahun 2010 sampai sekarang, mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan khususnya jurnalis. Tujuan dicantumkannya slogan jurnalisme ini sebagai kampanye positif soal dunia jurnalis.
“Awalnya sih agar jurnalis, narasumber dan mahasiswa yang ingin tahu soal dunia jurnalis lebih mengerti keberadaan dan etika jurnalisme,” tutur Teten.
Teten mengaku dalam setiap produksinya, hanya menghasilkan secara terbatas atau limited edition. Itu gunanya agar barang yang dihasilkannya memiliki ciri khas sendiri.
Satu desain dan motif untuk satu kaus lanjut Teten. Maksimal produksi kaus yang dihasilkan hanya 24 kaus.
“Biar yang mau beli penasaran. Terus ada kebanggaan bagi pembelinya, karena dia salah satu yang mendapatkan desain langka dan tidak diproduksi kembali,” ungkap Teten.
Selain kaus, Teten juga memproduksi jaket, gantungan identitas (ID Card) hingga tas sling (tas selendang). Di luar bisnis itu, usaha event organizer, penyewaan handy talkie dan penyelenggaraan seminar dilakoninya.
Seluruh usaha itu dijalani Teten, guna menambal kebutuhan ekonomi di luar penghasilan sebagai jurnalis. Agus, Iman dan Teten mungkin hanya sebagian kecil jurnalis yang terus berupaya meraih rezeki di luar profesinya saat ini.
Kemungkinan besar masih banyak lagi jurnalis yang tetap menjalankan profesinya, tetapi memiliki usaha lain. Mungkin budaya jurnalispreunership harus menjadi solusi mendatang bagi jurnalis di Indonesia.