Jakarta – Tanggal 3 Mei bertindak sebagai pengingat bagi pemerintah tentang perlunya menghormati komitmen wartawan terhadap kebebasan pers. Momen ini juga merupakan hari refleksi di kalangan profesional media tentang masalah kebebasan pers dan etika profesional.
Sama pentingnya, World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia merupakan hari dukungan bagi media yang menjadi sasaran pengekangan, atau penghapusan, kebebasan pers.
Sesuai dengan tema Hari Kebebasan Pers tahun ini, “Information as a Public Good“, Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) kembali mengadakan diskusi virtual pada Selasa (4/5/2021), melalui akun YouTube atamericaa.
Dengan menghadirkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim, ketua National Union Journalist Malaysia Farah Marshita Abdul Fatah, dan Ketua National Union Journalist of Philippines (NUJP) Jonathan de Santos.
Acara tersebut menyoroti pentingnya informasi dalam upaya memperkuat jurnalisme dan membangun transparansi untuk berbagi informasi yang kredibel, dan membahas usaha dalam menjaga prinsip kebebasan pers di AS, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Krisis kesehatan masyarakat COVID-19 telah menjelaskan peran penting yang dimainkan oleh media yang bebas dan independen di seluruh dunia. Keluaran media berita tetap menjadi sumber informasi yang kuat yang diakses orang.
Jurnalis di mana pun telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang pandemi dengan membuat arus informasi yang sangat banyak dan sangat kompleks menjadi lebih mudah diakses, membuat fakta ilmiah dapat dipahami oleh publik yang lebih luas, menyediakan data yang diperbarui secara berkala, dan melakukan pengecekan fakta.
Namun pada saat yang sama, beberapa jurnalis menghadapi ancaman yang lebih besar terhadap keselamatan mereka hanya dengan melaporkan fakta.
Kebebasan pers Indonesia sendiri menduduki peringkat 113 dari 180 negara di dunia, di mana sebagian besar jurnalis masih dikekang oleh pemerintah, akan informasi mengenai COVID-19 dan hoaks.
Walau Indonesia memiliki undang-undang dan regulasi pers yang bagus, tetap saja tingkat kekerasan yang menimpa para jurnalis masih cukup tinggi.
Catatan AJI sepanjang Mei 2020 sampai Mei 2021, dari total 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis, sebanyak 70 persen di antaranya dilakukan polisi
“Ini jumlah yang paling banyak dalam 10 tahun terakhir. Bahkan di 2020 dari Januari sampai Desember ada 84, tapi Mei 2020 sampai Mei 2021 ada 90 kasus. Artinya peningkatan dalam 10 tahun terakhir cukup banyak,” ucap Sasmito.
Sebagian besar kasus berupa intimidasi, kekerasan fisik, perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan, dan ancaman atau teror.
Reporter: Lianna Leticia
sumber : Liputan6.com