Jakarta – Indonesia menargetkan swasembada garam pada 2025. Namun hal itu hanya sebatas wacana sampai saat ini, karena nyatanya impor garam masih terus dilakukan.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (15/3/2021), realisasi impor garam Indonesia sepanjang 2020 mencapai 2,61 juta ton dengan nilai mencapai US$ 94,55 juta. Secara volume kebutuhan itu meningkat dibanding realisasi impor pada 2019.
Pada 2019, secara volume impor garam Indonesia mencapai 2,59 juta ton dengan nilai US$ 95,52 juta. Pada 2018 adalah yang tertinggi yakni mencapai 2,84 juta ton atau senilai dengan US$ 90,65 juta.
Sepanjang Januari-Februari 2021 ini saja, Indonesia tercatat masih melakukan impor garam dengan volume mencapai 80,2 ribu ton atau setara dengan US$ 2,61 juta. Realisasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan realisasi impor Januari-Februari 2020 yang mencapai 123,76 ribu ton.
Negara langganan Indonesia untuk impor garam adalah Australia, Tiongkok, India, Thailand, dan Selandia Baru.
Sepertinya Indonesia tidak akan bisa bebas impor garam dalam waktu dekat, karena pemerintah untuk tahun ini saja telah memutuskan kembali impor garam. Hal itu sesuai hasil rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Impor garam sudah diputuskan melalui rapat Menko,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Untuk kuotanya, Trenggono mengatakan pemerintah saat ini masih menunggu data terkait kebutuhan garam di Indonesia. “Nanti misalnya kekurangannya berapa, itu baru bisa diimpor. Kami menunggu itu, karena itu sudah masuk dalam Undang-undang Cipta Kerja,” katanya.
Jika melihat dari potensi garis pantai sepanjang 95.181 kilometer dan menjadi yang terpanjang kedua di dunia, Indonesia bisa swasembada garam jika mau. Namun selama ini dianggap terhalang oleh aturan pemerintah sendiri.
“Petambak garam mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahkan produksi untuk keperluan industri. Fakta yang terjadi adalah petambak garam nasional dikalahkan oleh kebijakan pemerintahnya sendiri,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim.
sumber : detikfinance