Dua hari belakangan ini linimasa sosial media saya dipenuhi pesan berantai yang isinya sebuah berita dugaan pencabulan seorang pemimpin pesantren di Indramayu terhadap seorang perempuan berinisial K yang diduga adalah mantan karyawannya.
Ada beberapa media yang getol menaikkan berita ini yang semuanya isinya persis sama, sepertinya memang berita ini diambil dari sebuah rilis atau berita yang memang telah sengaja disiapkan oleh narasumber yang kemudian disebarkan kepada para wartawan.
Tersebutlah ada detiknews, ayobandung dan beberapa media lainnya.
Sekilas berita ini tampak baik-baik saja dan sesuai dengan kaidah jurnalistik apalagi diangkat oleh wartawan sekaliber detik, khalayak tentu mudah sekali percaya berita yang keluar dari media mainstream, namun bagi orang yang sedikit mengerti ‘politik’media maka akan menilai berita ini berita junk food alias makanan sampah atau ”gorengan”.
Apa buktinya? Lihat saja, sang wartawan hanya mengangkat berita satu versi yakni rilis, yang mana jamak diketahui di dunia pewarta bahwa mengangkat berita hanya berdasar satu versi adalah sebuah ‘kemalasan’ bagi seorang wartawan, bagaimana tidak, diberi rilis oleh narasumber lalu langsung publish.
Jenis berita seperti ini tergolong berita jadul alias jurnalistik lama. Soal pengertian jurnalistik lama dan baru bisa dibaca di buku karya Sudirman Tebba yang berjudul Jurnalistik baru. Di situ dijelaskan salah satunya makna jurnalistik baru itu adalah berita yang disusun dari berbagai sudut pandang dan data. Sementara jurnalistik jadul hanya berdasar satu sumber semata.
Nah, apa yang dilakukan oleh wartawan detik, ayobandung dll adalah masih kategori jurnalistik lama atau jadul. Dan tahukah anda? Jurnalistik gaya ini sudah lama ditinggalkan oleh wartawan modern, kecuali ada deal deal atau permintaan khusus dari narasumber, lain cerita itu sih.
Kedua, wartawan tersebut tidak mengindahkan prinsip dasar jurnalitisk yaitu cover both side atau berita dua pihak. Artinya berita kasus mestinya menggunakan prinsip ini, ketika dua pihak bertengkar atau berselisih maka sang wartawan yang bijak akan mewawancarai dua pihak yang berseteru jangan hanya satu pihak saja. Wartawan tidak melakukan verifikasi kepada narasumber lain seperti kepada yang tertuduh. Wartawan hanya berdasar versi penuduh.
Nah berita berita yang beredar saat ini adalah tidak menggunakan kaidah dasar ini, maka lagi –lagi nilai atau kualitas pemberitaannya pun tergolong jurnalistik jadul.
Padahal sebenarnya sekelas detik, wartawannya pasti sudah faham prinsip ini, itu sudah pasti, tidak mungkin mereka diangkat menjadi wartawan apabila tidak faham ini, lantas kenapa banyak wartawan termasuk mengindahkan prinsip ini, ada banyak fator, seperti bisa jadi karena kemalasan wartawan mencari data pembanding, ada deal dealan tertentu antara narasumber dengan wartawan, atau memang tidak faham prinsip ini.
Untuk itu wartawan bisa mempelajari 9 elemen dasar jurnalistik menurut Bill Kovach :
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari public
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Jadi seperti itulah pelajaran yang bisa diambil dari sebuah pemberitaan, so, bagi para pembaca jangan buru-buru menilai sebuah pemberitaan kendati diangkat oleh sebuah media mainstream karena bisa jadi itu tidak sepenuhnya memenuhi kaidah jurnalistik atau masih model jurnalistik jadul….wartawan juga manusia yang mempunyai kebutuhan rumah tangga, jadi hal itu bisa saja terjadi….saya mengingat pesan salah seorang wartawan lapangan, bahwa integritas kadang kalah oleh kebutuhan….dan tidak ada makan siang gratis…
sumber : kompasiana.com