Kulitinto.com – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mulai mengirim anak-anak bermasalah ke barak militer menuai tanggapan beragam. Meskipun beberapa kepala daerah turut mengadopsi pendekatan serupa, banyak pihak mempertanyakan efektivitas serta dampak jangka panjang dari program tersebut, khususnya dari kalangan pegiat hak asasi manusia dan praktisi pendidikan.
Dedi Mulyadi mulai memberlakukan program ini sejak awal Mei 2025. Ia menggandeng TNI Angkatan Darat untuk mendidik para remaja yang dinilai telah melakukan pelanggaran berat secara berulang. Lokasi pelatihan militer tersebut berada di Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, dan Markas Menarmed 1 Kostrad di Purwakarta.
Dalam keterangannya saat memimpin apel Hari Pendidikan Nasional, Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa anak-anak yang dikirim ke barak bukanlah pelanggar ringan. Menurutnya, para peserta adalah siswa dengan catatan kenakalan yang serius dan sulit ditangani oleh pihak sekolah maupun orang tua. Ia menekankan bahwa tujuan program ini bukan untuk menghukum, melainkan membentuk karakter yang tangguh, meningkatkan disiplin, serta memperbaiki kondisi mental dan fisik mereka.
“Sudah ada surat edaran ke sekolah-sekolah dua hari yang lalu,” ujarnya di Lapangan Kujang, Bandung, pada Jumat, 2 Mei 2025.
Kebijakan Dedi ini kemudian diikuti oleh beberapa kepala daerah lainnya, seperti Bupati Cianjur Mohamad Wahyu Ferdian, Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein, serta Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie. Namun, tidak semua kepala daerah mendukung pendekatan tersebut.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menolak menerapkan cara serupa. Ia memilih pendekatan yang lebih edukatif dan inklusif dalam membina remaja bermasalah. Melalui juru bicaranya, Chico Hakim, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan bahwa pihaknya mengedepankan kegiatan positif dibandingkan pendidikan ala militer.
“Jakarta tidak akan menempuh langkah seperti Jawa Barat. Kami memiliki pendekatan yang berbeda dalam menertibkan dan membina anak-anak,” kata Chico di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Senin, 12 Mei 2025.
Chico menambahkan bahwa Jakarta lebih fokus membuka ruang-ruang kreatif bagi generasi muda. Ia menyebut program seperti pembukaan taman dan perpustakaan hingga malam hari sebagai bagian dari strategi menciptakan lingkungan yang aman dan produktif bagi anak-anak.
Selain dari kalangan pemerintah, kritik juga datang dari pakar pendidikan. Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, menilai kebijakan Dedi tidak selaras dengan pendekatan pendidikan yang humanis. Ia menjelaskan bahwa sistem pendidikan Indonesia sudah memiliki mekanisme khusus untuk menangani siswa yang bermasalah, terutama melalui peran guru bimbingan konseling (BK).
“Guru BK memiliki kompetensi menangani kenakalan siswa, tanpa perlu mengirim mereka ke barak militer,” ujar Atip pada 28 April 2025.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan adanya dinamika dalam pendekatan penanganan kenakalan remaja di Indonesia. Di satu sisi, pendekatan tegas seperti militer dinilai mampu membentuk kedisiplinan. Namun, di sisi lain, pendekatan tersebut dikhawatirkan mengabaikan aspek psikologis dan hak anak dalam proses pembinaan.
Hingga kini, belum ada evaluasi resmi mengenai efektivitas program militerisasi anak bermasalah ini. Namun, polemik yang muncul menunjukkan pentingnya dialog terbuka antar pemangku kepentingan demi merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih menyeluruh dan inklusif.