LBH Pers mengungkap jumlah kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2020. Tahun ini disebut menjadi tahun terburuk bagi dunia pers Tanah Air sejak era reformasi.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudi menyatakan, pada tahun ini kekerasan terhadap jurnalis meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya. Tak tanggung-tanggung peningkatannya pun disebut cukup signifikan jika dibanding 2019.
“Tahun 2020 jumlah kekerasannya paling banyak pasca reformasi, jadi ya artinya tahun 2020 tahun yang terburuk pasca reformasi bukan hanya di era Jokowi saja. Memang dari 1998 sampai sini yang melebihi angka 100 (kasus) itu tahun 2020,” kata Ade dalam rilis Laporan Tahunan LBH Pers secara daring, Selasa (12/1/2021).
Ade mengungkap, tahun 2020 LBH Pers mencatat adanya 117 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan hingga 32 persen ketimbang tahun 2019.
“Meningkat drastis dari tahun sebelumnya, yaitu (lebih dari) 30 persen,” katanya.
Arena demonstrasi merupakan tempat paling rawan bagi jurnalis untuk mengalami kekerasan. Menurut Ade, dari 117 kasus kekerasan tersebut sebagaimana besar terjadi di dalam demonstrasi.
“Meliput demonstrasi Omnibus Law gitu ya itu menjadi kasus yang terbanyak, bahkan lebih dari 70 kasus itu berasal dari meliput demonstrasi Omnibus Law,” ucapnya.
Dijelaskan Ade, alasan jurnalis kerap mendapatkan kekerasan saat meliput dalam demonstrasi lantaran mereka mengabadikan tindak kekerasan yang dilakukan aparat terhadap massa aksi.
Menurut Ade sebenarnya polisi di lapangan tidak menargetkan jurnalis, tetapi karena jurnalis sedang mendokumentasikan sebuah peristiwa kekerasan, maka mereka pun kerap turut menjadi sasaran kekerasan.
“Baik itu menghapus (file), alatnya dirampas, atau bahkan ditangkap itu terjadi. Dan di sebelumnya (2019) gak ada penangkapan, tapi di tahun 2020 ada penangkapan dan saya pikir ini jadi hal yang cukup berbahaya ya,” ujar Ade.