Site icon www.kulitinto.com

Pernyataan Fadli Zon Soal Perkosaan Mei 1998 Tuai Kritik, Komnas HAM dan Koalisi Sipil Angkat Suara

Pernyataan Fadli Zon Soal Perkosaan Mei 1998 Tuai Kritik, Komnas HAM dan Koalisi Sipil Angkat Suara

Pernyataan Fadli Zon Soal Perkosaan Mei 1998 Tuai Kritik, Komnas HAM dan Koalisi Sipil Angkat Suara

Kulitinto.com – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut bahwa pemerkosaan massal dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 hanya berupa rumor, menuai reaksi keras dari berbagai pihak. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak sejalan dengan hasil penyelidikan resmi negara yang menyebut peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.

Kontroversi ini bermula dari wawancara Fadli Zon di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025. Dalam video tersebut, Fadli menyatakan tidak terdapat bukti kuat mengenai kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan massal, dalam kerusuhan 13–15 Mei 1998. Ia juga menyebut narasi tersebut tidak tercatat dalam sejarah resmi dan lebih menyerupai isu yang tidak berdasar.

Menanggapi hal itu, Komnas HAM menyampaikan bahwa peristiwa tersebut telah diakui secara resmi sebagai pelanggaran HAM berat. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyebut lembaganya telah membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan pada Maret 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim ini menyimpulkan bahwa dalam kerusuhan tersebut terjadi berbagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, persekusi, penyiksaan, hingga pemerkosaan.

Anis menjelaskan, hasil penyelidikan tersebut telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada September 2003. Pemerintah kemudian mengakui tragedi tersebut sebagai pelanggaran HAM berat melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 dan menindaklanjutinya dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 untuk menyelesaikannya secara non-yudisial.

Fadli Zon sendiri kemudian memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa ucapannya tidak dimaksudkan untuk menafikan keberadaan kekerasan seksual, melainkan mendorong kehati-hatian dalam penggunaan istilah “perkosaan massal” yang menurutnya belum didukung data konklusif. Ia menegaskan bahwa sejarah perlu ditulis berdasarkan fakta hukum dan akademik yang telah diverifikasi.

“Saya mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pernyataan saya bukan untuk menyangkal penderitaan korban, tetapi menekankan perlunya kehati-hatian dalam terminologi sejarah,” ujarnya.

Namun, klarifikasi tersebut belum meredakan kritik. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk pengaburan sejarah dan pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran. Mereka menyebut pernyataan tersebut menunjukkan kurangnya empati terhadap korban, terutama perempuan Tionghoa yang menjadi target kekerasan seksual pada saat itu.

Koalisi tersebut juga menuntut Fadli Zon mencabut pernyataannya, menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada korban dan keluarga korban, serta tidak menghapus narasi pelanggaran HAM dari ruang publik.

Isu ini menambah sorotan terhadap peran Kementerian Kebudayaan dalam menjaga integritas sejarah nasional. Publik pun diingatkan kembali akan pentingnya pengakuan, keadilan, dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Exit mobile version